Rabu, 23 April 2014

Hobi ku yang pertama : Membaca

Semua orang pasti tau apa yang dimaksud membaca, namun seringkali sulit untuk menjelaskannya.

Pengertian Membaca adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis atau melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).

Membaca itu salah satu hobi yang menguntungkan lho. Membaca itu bisa menambah wawasan dan ilmu. Baiknya membaca dijadikan hobi semenjak kecil.

Yang dibaca di zaman sekarang bukan hanya buku yang terdiri dari tumpukan kertas, sekarang kita bisa menemui yang namanya e-book singkatan dari electronic book. Bagi pengguna android pasti tau ada sebuah aplikasi e-book dari play strore. Berbagai macam buku bisa didownload di sana. Bisa majalah, novel, buku pelajaran, atau lain-lainnya.

Dan salah satu hobi ku itu adalah membaca.

Minggu, 02 Februari 2014

Rumah di Seberang Pulau

Nael dan Ana sedang berbarinng di atas pasir putih nan menawan di lepas pantai Pulau Sembayan, kebiasaan mereka yang selalu mereka jalani selepas pulang sekolah. Memandangi langit biru dengan gumpalan awan seperti kapas di langit.
“Aku mau main ke pulau tempat kamu tinggal, sepertinya mengasyikan melihat langit di tepi pantai di Pulau Serigi seperti yang kita lakukan ini.”
 Ucap Nael membuka pembicaraan.
“Aku tidak yakin akan hal itu, kakekmu pasti akan melarangmu.”
Nael hanya diam mendengar perkataan Ana. Ia tak tahu mengapa kakeknya selalu melarangnya pergi ke pulau itu tanpa alasan yang jelas.

Matahari mulai tenggelam, langit sore mulai menghilang. Pemandangan yang menawan antara paduan  warna jingga, kuning dan biru. Sayangnya Ana harus lekas pulang, mendayung sampan ke pulau seberang. Pulau tersebut selalu berhasil membuat Nael tertarik mengunjunginya dan mencuri perhatiannya. Selain kakek penduduk lain juga melarangnya untuk mengunjungi pulau itu, hanya Ana yang diperbolehkan. Selama ini ia tak pernah pergi ke pulau itu, ia hanya berani memandang jauh di pelupuk mata, mengintip keindahan yang terpancar dibalik jendela kamarnya, tak berani mengekang perkataan Kakek.

Nael hanya tinggal bersama kakeknya tidak bersama orangtuanya, Nael tak tahu dimana dan bagaimana keadaan kedua orangtuanya. Baginya bersama Ana dan Kakek ia tak membutuhkan apa-apa lagi.

Ana, gadis cantik yang sedikit boyish dengan rambutnya yang selalu dikuncir satu ini tinggal di seberang pulau, adalah teman Nael dari umur 6 tahun. Entah sejak kapan mereka menjalin persahabatan ini. Dahulu Ana tinggal di pulau Sembayan tepatnya persis di samping rumah Nael tetapi keluarganya memutuskan untuk pindah ke Pulau Serigi, pulau yang sangat sedikit penduduknya.

Nael mengayuh sepedanya sekuat tenaga, dibelakangnya, tepatnya di kursi belakang sepedanya, terdapat Ana. Muka mereka terlihat ceria terpapar terkena hembusan angin seolah-olah menantangnya. Rambut Ana yang panjang dan terurai berkibar terkibas sapuan angin. Mereka menuju tepi pantai Pulau Sembayan untuk berbaring menikmati alam.
“Ana aku mau pergi ke kota besok, ngelanjutin SMA disana.”
Ucap Nael lirih.
“Kok aku gak tau !”
“Kamu baik-baik ya di sini.”
Ana hanya terseyum dan mengangguk, Nael pergi meninggalkannya. Itulah percakapan terakhirnya sebelum meninggalkan Ana.

Kini Nael menghabiskan masa-masa SMA di Pulau Serambi sebuah daratan utama, jauh dari Ana. Tinggal di sebuah kota. Hutan telah digantikan dengan hutan beton, kicauan burung digantikan dengan kicauan knalpot. Amat berbeda dengan suasana kampung halamannya yang asri dan rindang. Menata hidup di tempat bernama “Kota”. Tempat yang tak pernah tidur. Ia memulai kariernya dari bawah. Dari anak SMA biasa, lalu mengambil kuliah jurusan Statiska. Ia berhasil menjadi salah satu yang diperhitungkan dan juga disegani di kantornya.

Ana yang berbalut baju SMP medekatinya, memegang tangannya di suatu tempat dipadang bunga atau di kebun bunga ? Entahlah Nael tidak terlalu memperhatikannya, yang menjadi pusat perhatiannya adalah gadis cantik yang sedang menari-nari diantara bunga-bunga itu. Nael menatap dalam-dalam semua keadaan disekitarnya. Pandangannya mulai kabur, bayang-bayang Ana mulai hilang begitu juga dengan padang bunga atau kebun bunganya. Bayang-bayang tersebut mulai hilang tak tersisakan, jam weker yang membuyarkan mimpi indahnya.

Seakan mimpi itu mengingatkannya akan kampung halamannya, seraya memanggilnya untuk kembali ke rumah. Ia teringat akan Kakek dan Ana. Ia memutuskan kembali ke tempat dilahirkannya. Ia mengambil cuti untuk beberapa bulan. Ia merindukan mereka.  Harum pedesaan menusuk hidungnya, hijaunya padi muda menyejukkan matanya, kenengan desa menyegarkan ingatannya. Senyuman Kakek menghangangatkan hatinya, sapaanya membahagiakannya. Hidangan yang disajikan kakeknya mampu membuat lidahnya bergoyang. Sungguh sangat menyenangkan baginya.

“Kakek bagaimana kabar Ana ?”
Seru Nael penasaran.
“Ehmmm…… oh iya bagaimana hidupmu di kota ? Apakah kamu sudah menemukan pujaan hatimu ?
Ucap kakeknya seraya mengalihkan pembicaraan Nael tersenyum tanpa sadar teralihkan pembicaraanya.

2 bulan berlalu.
Berbeda hari, berbeda bulan, berbeda suasana, muka-muka iba, muka-muka sedih. Puluhan batu berdidir berjejer disana, warna hitam kesukaan semua orang, sedangkan warna kuning yang menjadi ornamen penghiasnya. Nael mengantarkan raga tanpa nyawa tersebut ke tempat peristirahatan terakhirnya. Berharap kakeknya baik-baik saja di alam sana. Tak kuasa Nael melihat kakeknya terlalap liang lahat. Batu terpahatkan tulisan “Agung Wirajawan’ yang terlihat elegan juga menakutkan. Dengan taburan bunga-bunga cantik di atas makam kakeknya, bertanda upacara pemakaman telah usai. Bagi Nael bunga itu tak nampak cantik sama sekali.

Jalannya terlihat goyah Nampak tak bersemangat. Meniti perjalana menuju rumahnya yang nampak sepi akan kepergian kakeknya. Hanya satu orang yang mampu memalingkan perasaan dukanya ke arah germbira. Sungguh sangat luar biasa bila ia bisa bersamanya. The one and only “Ana” . Ia sudah lama tak berjumpa dengannya. Bahkan di pemakaman kakeknya Ana tak datang.

“Kamu jangan ke Pulau Serigi !”
Peringatan Kakek yang dahulu tak diidahkannya. Tekadnya sudah kuat, tujuannya sudah tepat. Sampan kecil yang menemani perjalanannya. Mengayuh dengan bertenaga, akhirnya ia sampai disana, Pulau Serigi, pulau destinastinya, pulau kenginginannya. Pulau dengan mahluk-mahluk endemik, pasir putih, terumbu karang dan pastinya ada Ana disana. “ Menakjubkan” itu yang terlintas dipikirannya saat melihat pulau tersebut. Tujuannya adalah rumah Ana. Ia tak pernah mengunjunginya, dan juga melihatnya, tapi Ana sering menceritakannya. Tak sulit tuk mencarinya, ia sudah hatam, sudah hafal diluar kepala dengan apa yang diceritakan Ana tentang rumahnya.

Rumah sederhana dengan warna gading menyelimutinya.  Pekarangannya penuh bunga. Terlihat gadis cantik berbalut seragam SMP sedang bermain diantara bunga-bunga. Sadar dengan kedatangan Nael gadis itu menyuruhnya mendekat, gadis itu menggandeng Nael, terasa lembut dan hangat tangannya. Gadis itu memetikkan beberapa bunga dan bermain bersamanya. Nael merasa ini seperti yang ada di mimpinya.
“ Nama kamu siapa dik ?”
“ Aku Ana kak.”
Tak hanya fisik, namanya saja benar-benar menyerupai Ana. Tetapi gadis ini tak terlihat tomboy seperti Ana. Percakapan itu mengakhiri kebersamaan mereka. Terlihat langit biru mulai pecah, tergantikan langit ungu dengan guratan garis jingga. Waktunya pulang bagi Nael. Hari ini ia tak nampak Ana, hanya gadis SMP bernama Ana.

Satu bulan sudah Nael pulang pergi mengunjungi pulau itu, tapi tak pernah bertemu dengan Ana. Hanya gadis itu yang ada. Setiap kali ia ingin menanyakan kabar Ana kepada gadis itu lidahnya selalu kelu. Ia tak berani melangakah masuk ke rumah itu. Takut-takut tak ada Ana. Hari itu terlihat berbeda, gadis itu tak memakai seragam SMP-nya melainkan dress putih yang panjang menjuntai dan tampak keelegannannya terpancar.

“Kak ini sudah waktunya. Apakah kakak ingin mengunjungi rumah itu ?” Sambil menunjukkan letak rumah itu. Anggukan kecil Nael bertanda iya. Tak pernah dilihatnya rumah itu secara dekat. Pintu itu dibukakan kepada Nael. Nampak perubahan suasana terjadi di sana. Langit biru berubah menjadi ungu dengan sekejap mata. Rumah yang bagus berubah menjadi rumah yang rapuh. Daun yang terhempas angin berhenti di udara, terlihat waktu sudah berhenti.

Terlihat gadis itu 5 langkah lebih dulu darinya. Nael masih di depan pintu. Menatapi perubahan ini.
 “ Nael mungkin ini tak masuk logika aku adalah Ana, sahabatmu.” Dandanan gadis ini seketika terlihat mirip sekali dengan Ana. Tak jauh dari gadis itu berdiri orang-orang yang disayangi Nael, kedua orang tua Ana, yang telah menganggapnya Nael sebagai anaknya sendiri, orangtuanya yang hanya ia kenali lewat album foto kini dijumpainya sekarang berada tepat di hadapannya, kakeknya yang wafat 1 bulan yang lalu tersenyum hangat menatapnya dan juga Ana.

“ Kamu siang dan aku malam, kita tak bisa bersama. Kita sudah berbeda tempat, dan tak akan bisa bersama seperti dahulu kala.”
Pernyataan yang amat memedihkan bagi Nael. Ada banyak sekali yang ingin ditanyakannya kepada Ana, sosok yang terlihat tidak bertambah tua. Sebuah kata spontan terucap dari bibirnya.
“ Kalau begitu bawalah aku bersamamu.”
“ Jika kamu pergi bersamaku, kamu tidak akan bisa kembali ke duniamu lagi.”
“ Tak apa-apa aku tak punya siapa-siapa lagi disana. Tanpa kalian aku tidak bersemangat lagi menjalani hidup, kalianlah semangatku. Bawalah aku bersamamu.”

Ana menjulurkan tangannya, tak ragu dan tak bimbang Nael mengambil dan menggegamnya. Terlihat lorong-lorong gelap mereka lalui, kabut tebal merasuki, suasana mencekam menyelimuti. Tangan Nael mengecil, tungkai kakinya memendek, seluruh badannya menciut kembali ke bentuk raganya waktu SMP. Disana mereka menanti. Senyum mereka menghangatkan, hatinya yang sempat takut dan membeku akan perjalanan tadi. Walaupun hanya melewati pintu tetapi memang seperti itu rasanya. Mereka menghampiri Nael, memeluknya, menyambut kedatangannya. Rona-rona bahagia terpancar diraut wajah mereka.
“Selamat datang Nael, ini duniamu yang baru.” Ucap mereka.

“Nael, Nael, Nael bangun dong. Kebiasaan deh, kalo berbaring di pasir pasti suka ketiduran.”
Suara yang tak asing bagi Nael. Ya Ana.
          “ Ana aku tadi mimpi aneh, serem banget. Masa aku mimpi kalo aku ke dunia aneh, dan tentangmu, Kakek, rumahmu yang di Pulau Serigi, orangtua aku dan kamu” Ucapnya panjang lebar.
         “ Kamu ngaco, rumah ku masih di seberang rumahmu tuh (menunjuk letak rumahnya), makanya jangan ngigo. Udah ah ayok pulang.”
          “ Jangan tinggalin aku ya Na.”
Ana berlari meninggalkannya.
          “ Weee,, dasar penakut !”
          “ Awas ya kalo ke tangkep aku bakal gelitikin kamu” Ucap Nael gemas.
Mereka berlari-lari saling mengejar menuju rumah mereka masing-masing. Deretan awan, burung-burung yang terbang dan matahari terbenam, semua senang akan kebahagian mereka berdua. Senyuman dan tawa mereka, mewarnai hari-hari mereka.

This is My First

Hi my name is Farizal you can call me Fariz.
This is my first writing. Enjoy  my blog :)